Kedelai (Glycine max Merr) merupakan salah satu hasil pertanian yang sangat penting artinya sebagai bahan makanan, karena jumlah dan mutu protein yang dikandungnya sangat tinggi yaitu sekitar 40 % dan susunan asam amino essensialnya lengkap serta sesuai sehingga protein kedelai mempunyai mutu yang mendekati mutu protein hewani ( Hardjo, 1964).
Sebagai bahan baku makanan, kedelai termasuk bahan makanan yang mempunyai susunan zat yang lengkap dan mengandung hampir semua zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang cukup (Winarno dan Rahman, 1974).
Protein kedelai yang sebagian besar adalah globulin, mempunyai titik isoelektris 4,1 - 4,6. Globulin akan mengendap pada pH 4,1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air ( Anglemier and Montgomery, 1976).
Tahu sebagai salah satu produk olahan dari kedelai merupakan sumber protein yang sangat baik sebagai bahan substitusi bagi protein susu, daging dan telur karena jumlah protein yang dikandungnya serta daya cernanya yang tinggi. Tahu pertama sekali dibuat oleh seorang raja bangsa Cina kira-kira 200 tahun yang lalu. Sejak saat itu maka tahu sebagai produk olahan kedelai diterima sebagai suatu sumber kesehatan bagi orang Asia.
Proses pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Susu kedelai dibuat dengan merendam kedelai dalam air bersih. Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan struktur selular kedelai sehingga mudah digiling dan memberikan dispersi dan suspensi bahan padat kedelai lebih baik pada waktu ekstraksi. Perendaman juga dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai akan tetapi perendaman yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan. Kedelai yang telah direndam kemudian dicuci, digiling dengan alat penggiling bersama-sama air panas (800C ) dengan perbandingan 1 : 10.
Bubur kedelai yang dihasilkan selanjutnya disaring dan filtratnya didihkan selama 30 menit pada suhu 100 – 110 0 C. Susu kedelai yang dihasilkan kemudian digumpalkan. Zat penggumpal yang dapat digunakan adalah asam cuka, asam laktat, batu tahu (CaSO4) dan CaCl2 ( Koswara, 1992).
Disamping sebagai zat penggumpal, asam cuka juga berperan sebagai pengawet dimana asam akan menurunkan pH bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jumlah asam yang cukup akan menyebabkan denaturasi protein bakteri. Asam cuka juga dapat berfungsi untuk menambah cita rasa, mengurangi rasa manis dan dapat pula memperbaiki tekstur (Winarno, 1984).
Batu tahu (CaSO4) paling umum digunakan untuk menggumpalkan dan sering digunakan berdasarkan perkiraan saja, dimana batu tahu diencerkan dalam air secukupnya lalu ditambahkan ke dalam susu kedelai sampai menggumpal dan penggunaan batu tahu dihentikan. Penambahan batu tahu akan menyebabkan terjadinya koagulasi. Hal ini disebabkan oleh ion Ca++ yang bereaksi dan berikatan dengan protein susu kedelai dan bersama lipid membentuk gumpalan (Santoso, 1993).
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah kedelai, asam cuka, batu tahu, asam sulfat, benzena, indikator Mengsel, CuSO4, NaOH dan K2SO4. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian USU Medan pada bulan Agustus 2002. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan faktor pertama berupa lama perendaman kedelai (R) dengan 4 taraf yaitu: R1 = 2 Jam, R2 = 4 Jam, R3 = 6 Jam dan R4 = 8 Jam, faktor kedua adalah jenis zat penggumpal (G) dengan 2 jenis yaitu: G1 = asam cuka dan G2 = batu tahu, dengan ulangan 3 kali.
Penelitian dilaksanakan sebagai berikut: Kedelai ditimbang masing-masing 200 gr untuk tiap unit percobaan, kemudian masing-masing kedelai direndam dalam air selama waktu yang sesuai dengan perlakuan. Kedelai kemudian diblender dan ditambahkan air panas dengan perbandingan 1 : 10 hingga diperoleh bubur kedelai yang selanjutnya disaring sehingga diperoleh filtrat berupa susu kedelai. Susu kedelai didihkan kemudian didinginkan selama 10 menit. Selanjutnya susu kedelai ditambahkan zat penggumpal yang sesuai dengan perlakuan hingga menggumpal. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan tahu. Setelah terbentuk tahu, kemudian dilakukan pengamatan dan pengambilan data yang meliputi kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu. Kadar protein ditentukan dengan metoda Kjedhal, kadar air ditentukan dengan oven, pH dengan pH-meter, rasa-aroma dan tekstur tahu ditentukan dengan uji organoleptik dengan menggunakan 5 skala hedonik dengan nilai (skor) 1-5. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisa sidik ragam. Bila terdapat pengaruh yang nyata atau sangat nyata, analisis dilanjutkan dengan pengujian beda rataan perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisa statistika pengaruh lama perendaman kedelai terhadap kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Lama Perendaman Terhadap Kadar Protein, Kadar Air,
pH, Rasa-Aroma dan Tekstur Tahu.
Lama
Perendaman
(Jam)
Kadar
Protein
(%)
Kadar
Air
(%)
pH Rasa-
Aroma
(skor)
Tekstur
(Skor)
2 6,37 A 76,97 C 5,94 A 3,10 BC 2,95 BC
4 5,56 B 79,00 BC 5,27 B 3,60 A 3,47 A
6 4,09 C 80,23 AB 5,17 B 3,40 AB 3,25 AB
8 3,15 D 82,00 A 4,67 B 2,93 C 2,68 D
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda pada taraf 1 % menurut uji Duncan.
Lama perendaman kedelai berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter yang diamati. Semakin lama perendaman maka kadar protein dan pH semakin menurun sedangkan kadar air semakin meningkat. Rasa-aroma dan tekstur tahu semakin meningkat sampai lama perendaman 4 jam kemudian menurun kembali pada lama perendaman 6 dan 8 jam. Menurut Anglemier dan Montgomery (1976), semakin menurunnya kadar protein dengan semakin lamanya perendaman disebabkan lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air. Perendaman yang semakin lama juga mengakibatkan lunaknya struktur biji kedelai sehingga air lebih mudah masuk kedalam struktur selnya sehingga kadar air tahu semakin tinggi.
Penurunan pH selama perendaman disebabkan proses perendaman memberikan kesempatan pertumbuhan bakteri asam laktat, sehingga proses pengasaman berlangsung sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat tersebut. Penurunan pH tahu mempengaruhi tekstur tahu yang dihasilkan. Menurut Lee dan Rha (1979), tekstur tahu sangat tergantung pada kondisi penggumpalan misalnya pH, suhu, bahan penggumpal dan tingkat denaturasi protein. Rendahnya kadar protein mengakibatkan rasa yang kurang disukai dan aroma yang tidak khas. Kadar protein yang terlalu tinggi juga mengakibatkan rasa dan aroma yang kurang disukai karena munculnya bau langu. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa jenis zat penggumpal berpengaruh sangat nyata terhadap tektur, berpengaruh nyata terhadap pH dan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar protein, kadar air dan rasa-aroma. Hasil analisis statistik pengaruh jenis zat penggumpal terhadap parameter yang diamati ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Jenis Zat Penggumpal Terhadap Kadar Protein, Kadar
Air, pH, Rasa-Aroma dan Tekstur Tahu.
Jenis Zat
Penggumpal
Kadar
Protein
(%)
Kadar
Air
(%)
pH Rasa
Aroma
(skor)
Tekstur
Asam Cuka 4,59 79,42 5,09 b 3,24 2,94 B
Batu Tahu 4,99 79,68 5,43 a 3,28 3,23 A
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda pada taraf nyata 5% untuk huruf kecil dan
1% untuk huruf besar menurut uji Duncan.
Jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur yang lebih tinggi daripada jenis zat penggumpal asam cuka. Nilai pH yang lebih rendah dijumpai pada perlakuan jenis zat penggumpal asam cuka. Nilai tekstur tahu yang lebih tinggi dijumpai pada penggunaan jenis zat penggumpal batu tahu. Menurut Lee dan Rha (1979), tahu yang digumpalkan dengan batu tahu lebih lunak, rendemen lebih tinggi, daya pegang air lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahu yang digumpalkan dengan asam cuka, hal ini disebabkan penggumpalan dengan batu tahu membuat pH dari larutan tidak terlalu asam sehingga proses penggumpalan lebih baik. Kombinasi perlakuan lama perendaman kedelai dan jenis zat penggumpal memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur, berpengaruh nyata terhadap pH dan tidak nyata terhadap kadar protein, kadar air serta rasa-aroma tahu. Hasil analisa statistik pengaruh kombinasi perlakuan terhadap parameter yang diamati ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Kombinasi Perlakuan Lama Perendaman dan Jenis Zat
Penggumpal Terhadap Kadar Protein, Kadar Air, pH, Rasa-Aroma
dan Tekstur Tahu.
Kombinasi
Perlakuan
Kadar
Protein
(%)
Kadar
Air
(%)
pH Rasa-
Aroma
(skor)
Tekstur
(skor)
R1 G1 5,90 76,87 5,91 a 3,07 2,90 CD
R2 G1 5,36 78,60 4,94 b 3,60 3,43 AB
R3 G1 3,88 80,13 4,90 bc 3,47 3,03 C
R 4 G1 3,21 81,87 4,61 c 2,90 2,40 E
R1 G2 6,84 77,07 5,97 a 3,13 3,00 C
R2 G2 5,76 79,40 5,60 a 3,62 3,50 A
R3 G2 4,29 80,33 5,44 ab 3,53 3,47 A
R4 G2 3,08 82,13 4,72 c 2,97 2,97 C
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda pada taraf nyata 5% untuk huruf kecil dan
1% untuk huruf besar menurut uji Duncan.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan batu tahu dengan lama perendaman yang mana saja akan menghasilkan kadar protein, kadar air, rasaaroma dan tekstur yang lebih tinggi daripada kombinasi perlakuan asam cuka dengan lama perendaman yang sesuai. Kadar protein tertinggi dijumpai pada kombinasi perlakuan R1G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G2. Semakin lama perendaman maka semakin terjadi penurunan kadar protein karena terlepasnya ikatan struktur protein yang menyebabkan komponen protein terlarut dalam air (Anglemier and Montgomery, 1976). pH tahu tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R1G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G1. Penggunaan zat penggumpal asam cuka akan menurunkan pH tahu dan semakin lama perendam mengakibatkan pertumbuhan dan peningkatan aktivitas bakteri asam laktat dalam air rendaman yang juga mengakibatkan penurunan pH tahu. Kadar air tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R4G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R1G1. Semakin lama perendaman mengakibatkan lunaknya struktur seluler kedelai. Menurut Shurfleff dan Aoyogi (1977), batu tahu akan menyebabkan terjadinya koagulasi, dimana koagulasi berjalan lambat dan mengikat banyak air pada kisi-kisi struktur proteinnya. Skor rasa-aroma dan tekstur tahu tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R2G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G1. Perendaman yang terlalu lama mengakibatkan tingginya kadar air dan rendahnya protein. Hal ini mengakibatkan rasa yang kurang disenangi dan aroma yang kurang khas. Sebaliknya perendaman yang terlalu cepat mengahasilkan kadar protein yang tinggi mengakibatkan timbulnya aroma yang kurang disenangi konsumen (bau langu). Penggumpalan dengan batu tahu akan menghasilkan tekstur yang kompak dimana pori-pori tidak terlalu besar dan permukaan tahu tidak kasar (Lee and Rha, 1979).
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1. Semakin lama perendaman kedelai maka kadar protein, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu semakin menurun sedangkan kadar air semakin meningkat.
2. Jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu yang lebih tinggi daripada jenis zat penggumpal asam cuka.
3. Kombinasi perlakuan lama perendaman kedelai 4 jam dan jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan rasa-aroma dan tekstur lebih tinggi daripada kombinasi perlakuan lainnya.
2. Saran
Untuk memperoleh mutu tahu yang baik, disarankan untuk merendam kedelai selama 4 jam serta menggunakan zat penggumpal batu tahu.
DAFTAR PUSTAKA
Anglemier, A.E. and M. W. Montgomery, 1976. Amino Acids Peptides and Protein. Mercil Decker Inc. , New York.
Beaker, E. C. and G. E. Mustakas, 1992. Heat in Activation of Tripsin Inhibitor Lypoksigenase and Uncrease in Soybean Effect of Acid and Additives. Journal American Oil Chem. Soc.
Coppock, J. , 1974. Soy Protein in Food. Journal American Oil Chem. Soc.
Hardjo, S. , 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Horan, F. E. , 1984. Soy Protein in Food, Restrospect and Prospect. Journal American Oil Chem. Soc.
Koswara, S. , 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lee, C. H. and C. Y. Rha , 1979. Microstructure of Soybean Protein Aggregates and its Relation to the Physical and Textural Properties of the Curd. J. Food Sci.
Santoso, H. B. , 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai Bahan Makanan
Bergizi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Schroder, D. J. and H. Jackson, 1972. Preparation and Evaluation of Soybean Curd with Produced Beany Flavour. J. Food Sci.
Shurfleff, W. and Aoyagi, 1977. The Book of Tafu. Autum Press, Massachussets.
Smith, S. J. and A. K. Circle, 1992. Soybean, Chemistry and Technology. The AVI Publishing Company Inc. , Wesport.
Winarno, F. G. dan A. Rahman, 1974. Protein: Sumber dan Peranannya.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian , Bogor.
khadik_astro@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar