Jumat, 13 April 2012

PENGARUH LAMA PERENDAMAN KEDELAI DAN JENIS ZAT PENGGUMPAL TERHADAP MUTU TAHU

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max Merr) merupakan salah satu hasil pertanian yang sangat penting artinya sebagai bahan makanan, karena jumlah dan mutu protein yang dikandungnya sangat tinggi yaitu sekitar 40 % dan susunan asam amino essensialnya lengkap serta sesuai sehingga protein kedelai mempunyai mutu yang mendekati mutu protein hewani ( Hardjo, 1964).

Sebagai bahan baku makanan, kedelai termasuk bahan makanan yang mempunyai susunan zat yang lengkap dan mengandung hampir semua zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang cukup (Winarno dan Rahman, 1974).

Protein kedelai yang sebagian besar adalah globulin, mempunyai titik isoelektris 4,1 - 4,6. Globulin akan mengendap pada pH 4,1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air ( Anglemier and Montgomery, 1976).

Tahu sebagai salah satu produk olahan dari kedelai merupakan sumber protein yang sangat baik sebagai bahan substitusi bagi protein susu, daging dan telur karena jumlah protein yang dikandungnya serta daya cernanya yang tinggi. Tahu pertama sekali dibuat oleh seorang raja bangsa Cina kira-kira 200 tahun yang lalu. Sejak saat itu maka tahu sebagai produk olahan kedelai diterima sebagai suatu sumber kesehatan bagi orang Asia.

Proses pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Susu kedelai dibuat dengan merendam kedelai dalam air bersih. Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan struktur selular kedelai sehingga mudah digiling dan memberikan dispersi dan suspensi bahan padat kedelai lebih baik pada waktu ekstraksi. Perendaman juga dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai akan tetapi perendaman yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan. Kedelai yang telah direndam kemudian dicuci, digiling dengan alat penggiling bersama-sama air panas (800C ) dengan perbandingan 1 : 10.

Bubur kedelai yang dihasilkan selanjutnya disaring dan filtratnya didihkan selama 30 menit pada suhu 100 – 110 0 C. Susu kedelai yang dihasilkan kemudian digumpalkan. Zat penggumpal yang dapat digunakan adalah asam cuka, asam laktat, batu tahu (CaSO4) dan CaCl2 ( Koswara, 1992).

Disamping sebagai zat penggumpal, asam cuka juga berperan sebagai pengawet dimana asam akan menurunkan pH bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jumlah asam yang cukup akan menyebabkan denaturasi protein bakteri. Asam cuka juga dapat berfungsi untuk menambah cita rasa, mengurangi rasa manis dan dapat pula memperbaiki tekstur (Winarno, 1984).

Batu tahu (CaSO4) paling umum digunakan untuk menggumpalkan dan sering digunakan berdasarkan perkiraan saja, dimana batu tahu diencerkan dalam air secukupnya lalu ditambahkan ke dalam susu kedelai sampai menggumpal dan penggunaan batu tahu dihentikan. Penambahan batu tahu akan menyebabkan terjadinya koagulasi. Hal ini disebabkan oleh ion Ca++ yang bereaksi dan berikatan dengan protein susu kedelai dan bersama lipid membentuk gumpalan (Santoso, 1993).

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah kedelai, asam cuka, batu tahu, asam sulfat, benzena, indikator Mengsel, CuSO4, NaOH dan K2SO4. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian USU Medan pada bulan Agustus 2002. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan faktor pertama berupa lama perendaman kedelai (R) dengan 4 taraf yaitu: R1 = 2 Jam, R2 = 4 Jam, R3 = 6 Jam dan R4 = 8 Jam, faktor kedua adalah jenis zat penggumpal (G) dengan 2 jenis yaitu: G1 = asam cuka dan G2 = batu tahu, dengan ulangan 3 kali.

Penelitian dilaksanakan sebagai berikut: Kedelai ditimbang masing-masing 200 gr untuk tiap unit percobaan, kemudian masing-masing kedelai direndam dalam air selama waktu yang sesuai dengan perlakuan. Kedelai kemudian diblender dan ditambahkan air panas dengan perbandingan 1 : 10 hingga diperoleh bubur kedelai yang selanjutnya disaring sehingga diperoleh filtrat berupa susu kedelai. Susu kedelai didihkan kemudian didinginkan selama 10 menit. Selanjutnya susu kedelai ditambahkan zat penggumpal yang sesuai dengan perlakuan hingga menggumpal. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan tahu. Setelah terbentuk tahu, kemudian dilakukan pengamatan dan pengambilan data yang meliputi kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu. Kadar protein ditentukan dengan metoda Kjedhal, kadar air ditentukan dengan oven, pH dengan pH-meter, rasa-aroma dan tekstur tahu ditentukan dengan uji organoleptik dengan menggunakan 5 skala hedonik dengan nilai (skor) 1-5. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisa sidik ragam. Bila terdapat pengaruh yang nyata atau sangat nyata, analisis dilanjutkan dengan pengujian beda rataan perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa statistika pengaruh lama perendaman kedelai terhadap kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Lama Perendaman Terhadap Kadar Protein, Kadar Air,

pH, Rasa-Aroma dan Tekstur Tahu.

Lama

Perendaman

(Jam)

Kadar

Protein

(%)

Kadar

Air

(%)

pH Rasa-

Aroma

(skor)

Tekstur

(Skor)

2 6,37 A 76,97 C 5,94 A 3,10 BC 2,95 BC

4 5,56 B 79,00 BC 5,27 B 3,60 A 3,47 A

6 4,09 C 80,23 AB 5,17 B 3,40 AB 3,25 AB

8 3,15 D 82,00 A 4,67 B 2,93 C 2,68 D

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda pada taraf 1 % menurut uji Duncan.

Lama perendaman kedelai berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter yang diamati. Semakin lama perendaman maka kadar protein dan pH semakin menurun sedangkan kadar air semakin meningkat. Rasa-aroma dan tekstur tahu semakin meningkat sampai lama perendaman 4 jam kemudian menurun kembali pada lama perendaman 6 dan 8 jam. Menurut Anglemier dan Montgomery (1976), semakin menurunnya kadar protein dengan semakin lamanya perendaman disebabkan lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air. Perendaman yang semakin lama juga mengakibatkan lunaknya struktur biji kedelai sehingga air lebih mudah masuk kedalam struktur selnya sehingga kadar air tahu semakin tinggi.

Penurunan pH selama perendaman disebabkan proses perendaman memberikan kesempatan pertumbuhan bakteri asam laktat, sehingga proses pengasaman berlangsung sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat tersebut. Penurunan pH tahu mempengaruhi tekstur tahu yang dihasilkan. Menurut Lee dan Rha (1979), tekstur tahu sangat tergantung pada kondisi penggumpalan misalnya pH, suhu, bahan penggumpal dan tingkat denaturasi protein. Rendahnya kadar protein mengakibatkan rasa yang kurang disukai dan aroma yang tidak khas. Kadar protein yang terlalu tinggi juga mengakibatkan rasa dan aroma yang kurang disukai karena munculnya bau langu. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa jenis zat penggumpal berpengaruh sangat nyata terhadap tektur, berpengaruh nyata terhadap pH dan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar protein, kadar air dan rasa-aroma. Hasil analisis statistik pengaruh jenis zat penggumpal terhadap parameter yang diamati ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Jenis Zat Penggumpal Terhadap Kadar Protein, Kadar

Air, pH, Rasa-Aroma dan Tekstur Tahu.

Jenis Zat

Penggumpal

Kadar

Protein

(%)

Kadar

Air

(%)

pH Rasa

Aroma

(skor)

Tekstur

Asam Cuka 4,59 79,42 5,09 b 3,24 2,94 B

Batu Tahu 4,99 79,68 5,43 a 3,28 3,23 A

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda pada taraf nyata 5% untuk huruf kecil dan

1% untuk huruf besar menurut uji Duncan.

Jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur yang lebih tinggi daripada jenis zat penggumpal asam cuka. Nilai pH yang lebih rendah dijumpai pada perlakuan jenis zat penggumpal asam cuka. Nilai tekstur tahu yang lebih tinggi dijumpai pada penggunaan jenis zat penggumpal batu tahu. Menurut Lee dan Rha (1979), tahu yang digumpalkan dengan batu tahu lebih lunak, rendemen lebih tinggi, daya pegang air lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahu yang digumpalkan dengan asam cuka, hal ini disebabkan penggumpalan dengan batu tahu membuat pH dari larutan tidak terlalu asam sehingga proses penggumpalan lebih baik. Kombinasi perlakuan lama perendaman kedelai dan jenis zat penggumpal memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur, berpengaruh nyata terhadap pH dan tidak nyata terhadap kadar protein, kadar air serta rasa-aroma tahu. Hasil analisa statistik pengaruh kombinasi perlakuan terhadap parameter yang diamati ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Kombinasi Perlakuan Lama Perendaman dan Jenis Zat

Penggumpal Terhadap Kadar Protein, Kadar Air, pH, Rasa-Aroma

dan Tekstur Tahu.

Kombinasi

Perlakuan

Kadar

Protein

(%)

Kadar

Air

(%)

pH Rasa-

Aroma

(skor)

Tekstur

(skor)

R1 G1 5,90 76,87 5,91 a 3,07 2,90 CD

R2 G1 5,36 78,60 4,94 b 3,60 3,43 AB

R3 G1 3,88 80,13 4,90 bc 3,47 3,03 C

R 4 G1 3,21 81,87 4,61 c 2,90 2,40 E

R1 G2 6,84 77,07 5,97 a 3,13 3,00 C

R2 G2 5,76 79,40 5,60 a 3,62 3,50 A

R3 G2 4,29 80,33 5,44 ab 3,53 3,47 A

R4 G2 3,08 82,13 4,72 c 2,97 2,97 C

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda pada taraf nyata 5% untuk huruf kecil dan

1% untuk huruf besar menurut uji Duncan.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan batu tahu dengan lama perendaman yang mana saja akan menghasilkan kadar protein, kadar air, rasaaroma dan tekstur yang lebih tinggi daripada kombinasi perlakuan asam cuka dengan lama perendaman yang sesuai. Kadar protein tertinggi dijumpai pada kombinasi perlakuan R1G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G2. Semakin lama perendaman maka semakin terjadi penurunan kadar protein karena terlepasnya ikatan struktur protein yang menyebabkan komponen protein terlarut dalam air (Anglemier and Montgomery, 1976). pH tahu tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R1G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G1. Penggunaan zat penggumpal asam cuka akan menurunkan pH tahu dan semakin lama perendam mengakibatkan pertumbuhan dan peningkatan aktivitas bakteri asam laktat dalam air rendaman yang juga mengakibatkan penurunan pH tahu. Kadar air tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R4G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R1G1. Semakin lama perendaman mengakibatkan lunaknya struktur seluler kedelai. Menurut Shurfleff dan Aoyogi (1977), batu tahu akan menyebabkan terjadinya koagulasi, dimana koagulasi berjalan lambat dan mengikat banyak air pada kisi-kisi struktur proteinnya. Skor rasa-aroma dan tekstur tahu tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R2G2 dan terendah pada kombinasi perlakuan R4G1. Perendaman yang terlalu lama mengakibatkan tingginya kadar air dan rendahnya protein. Hal ini mengakibatkan rasa yang kurang disenangi dan aroma yang kurang khas. Sebaliknya perendaman yang terlalu cepat mengahasilkan kadar protein yang tinggi mengakibatkan timbulnya aroma yang kurang disenangi konsumen (bau langu). Penggumpalan dengan batu tahu akan menghasilkan tekstur yang kompak dimana pori-pori tidak terlalu besar dan permukaan tahu tidak kasar (Lee and Rha, 1979).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1. Semakin lama perendaman kedelai maka kadar protein, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu semakin menurun sedangkan kadar air semakin meningkat.

2. Jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan kadar protein, kadar air, pH, rasa-aroma dan tekstur tahu yang lebih tinggi daripada jenis zat penggumpal asam cuka.

3. Kombinasi perlakuan lama perendaman kedelai 4 jam dan jenis zat penggumpal batu tahu menghasilkan rasa-aroma dan tekstur lebih tinggi daripada kombinasi perlakuan lainnya.

2. Saran

Untuk memperoleh mutu tahu yang baik, disarankan untuk merendam kedelai selama 4 jam serta menggunakan zat penggumpal batu tahu.

DAFTAR PUSTAKA

Anglemier, A.E. and M. W. Montgomery, 1976. Amino Acids Peptides and Protein. Mercil Decker Inc. , New York.

Beaker, E. C. and G. E. Mustakas, 1992. Heat in Activation of Tripsin Inhibitor Lypoksigenase and Uncrease in Soybean Effect of Acid and Additives. Journal American Oil Chem. Soc.

Coppock, J. , 1974. Soy Protein in Food. Journal American Oil Chem. Soc.

Hardjo, S. , 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Horan, F. E. , 1984. Soy Protein in Food, Restrospect and Prospect. Journal American Oil Chem. Soc.

Koswara, S. , 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Lee, C. H. and C. Y. Rha , 1979. Microstructure of Soybean Protein Aggregates and its Relation to the Physical and Textural Properties of the Curd. J. Food Sci.

Santoso, H. B. , 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai Bahan Makanan

Bergizi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Schroder, D. J. and H. Jackson, 1972. Preparation and Evaluation of Soybean Curd with Produced Beany Flavour. J. Food Sci.

Shurfleff, W. and Aoyagi, 1977. The Book of Tafu. Autum Press, Massachussets.

Smith, S. J. and A. K. Circle, 1992. Soybean, Chemistry and Technology. The AVI Publishing Company Inc. , Wesport.

Winarno, F. G. dan A. Rahman, 1974. Protein: Sumber dan Peranannya.

Departemen Teknologi Hasil Pertanian , Bogor.

khadik_astro@yahoo.com

JURNAL PENYIMPANAN JAGUNG

Oleh :

M. KHADIK ASRORI 1033010011

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM

SURABAYA

2011

PENDAHULUAN

Sampai saat ini mutu jagung di tingkat petani pada umumnya kurang memenuhi persyaratan kriteria mutu jagung yang baik, karena tingginya kadar air dan banyaknya butir rusak. Pada Waktu panen produksi jagung melimpah sehingga harganya murah, sedangkan pada waktu paceklik harganya menjadi mahal. Oleh karena itu, penyimpanan sangat diperlukan untuk mengatasi kelebihan produksi pada musim panen raya untuk dimanfaatkan pada saat paceklik. Para petani menjual jagung hasil panennya karena mereka mangalami kesulitan menyimpan jagung pipil untuk waktu lama. Selama penyimpanan jagung pipil, terjadi kehilangan sekitar 9,6 – 20,2% karena serangan serangga tikus dan jamur. Jagung pipil berkadar air 9,6% yang disimpan dalam karung goni hanya tahan disimpan sampai 6 bulan dengan kerusakan 10,34% dan bila disimpan selama 8 bulan maka kerusakannya mencapai 34,01%. Beberapa usaha untuk mencari teknik penyimpanan dan perawatan jagung pipil terus dilakukan. Untuk penyimpanan jagung yang perlu diperhatikan adalah kadar air 1-2% dibawah kadar air seimbang dengan kelembaban maksimum 80%. Usahakan wadah dapat mempertahankan bahan tetap kering dan dingin serta dapat melindungi terhadap seranganserangga dan tikus. Biji jagung yang disimpan harus benar benar bersih dan mulus, hal ini dapat dilihat dari hasil sortasi bijinya, seperti yang telah disebutkan di atas.

Permasalahan yang dihadapi petani jagung salah satunya adalah proses penyimpanan. Proses penyimpanan sangat perlu diperhatikan karena mempengaruhi kualitas jagung sehingga akan menentukan harga jual jagung yang dihasilkan. Upaya untuk mempertahankan kualitas jagung pada waktu penyimpanan dan pergudangan dapat ditempuh dengan menggunakan kabon disulfida (CS2), penyimpanan diatas para-para, penyimpanan dengan karung dan penyimpanan dengan silo bambu semen, sedangkan untuk penyimpanan benih jagung dengan menggunakan jerigen plastik, botol dan wadah dari logam.

BEBERAPA CARA PENYIMPANAN JAGUNG

Menggunakan Karbon Disulfida (Cs2)

Penggunaan karbon disulfida (CS2) cair dapat menekan kerusakan jagung pipil selama penyimpanan. Teknik penggunaan CS2 tidak sulit, karena CS2 cair mudah teroksidasi, sehingga terbentuk CO2 dan SO2 yang bersifat toksin terhadap serangga (inago, larva dan telur), serta menghambat mikroorganisme. Penggunaan CS2 dosis 0.25 cc/kg jagung pipil dapat memperpanjang daya simpan jagung pipil sampai dua tahun dengan kerusakan kurang dari satu persen.

Cara Kerja :

· Pengemas jagung pipil yang digunakan harus kedap udara, karena hasil oksidasi CS2 adalah gas CO2 dan SO2.

· Tempatkan CS2 cair dalam botol dengan dosis 0,25 cc/Kg jagung pipil dengan kadar air sekitar 10% kemudian ditutup agak renggang. Penutupan agak renggang agar CS2 cair ini menguap secara perlahan-lahan kemudian mengalami oksidasi. Apabila jumlah jagung yang disimpan cukup banyak, misalnya dua ton atau lebih, maka penempatan botol berisi CS2 tersebut dapat dilakukan di beberapa tempat di bagian tengah.

· Setelah penempatan botol berisi CS2 dalam kemasan jagung selesai dilakukan, maka pengemas jagung segera ditutup rapat.

· Selanjutnya jagung disimpan dalam ruang penyimpanan yang dijaga kebersihannya.

Penyimpanan Di Atas Para-Para

Penyimpanan jagung dapat dilakukan dalam bentuk tongkol berkelobot pada parapara yang ditempatkan di bawah atap maupun di atas dapur. Dapat pula dilakukan dalam bentuk tongkol pada para-para dan pada langit-langit rumah yang dilengkapi dengan kawat anti tikus. Untuk penyimpanan jagung dalam tongkol berkelobot dianjurkan hanya pada jagung yang kelobotnya menutup seluruh tongkol. Para-para di atas dapur dapat memperoleh asap dari kayu yang dibakar sewaktu masak di dapur. Asap tersebut meninggalkan residu yang bersifat anti terhadap bakteri, jamur maupun serangga. Dengan demikian dapat menjamin jagung disimpan dalam waktu yang cukup lama.

Penyimpanan Dengan Karung

Faktor utama yang perlu mendapatkan perhatian adalah kebersihan dan ketahanan dari jenis wadahnya. Wadah harus bersih dan tidak bocor, dengan demikian selama dalamwadah, biji jagung tidak mudah mengalami serangan oleh hama dan penyakit. Oleh sebab itu gunakan karung plastik yang dilapis dengan karung goni. Setelah itu ikatlah erat-erat atau dijahit sepanjang lubang secara kuat dan rapih. Kondisi demikian akan mempermudah dalam pengangkutan serta akan mengurangi kehilangan hasil akibat banyaknya jagung yang tercecer selama dalam pengangkutan. Khususnya bagi jagung pipilan, tingkat kehilangan karena tercecer kemungkinan lebih besar bila dibanding dengan jagung tongkol. Dalam bentuk pipilan, jagung dapat disimpan dalam karung goni, karung plastik, bakul besar dan kotak kayu. Bahkan dalam jumlah yang besar dapat disimpan dalam bentuk curah di dalam gudang atau silo-silo. Dalam kondisi demikian, perlu pengaturan terhadap kadar air, suhu penyimpanan dan kelembaban udara (RH) secara stabil. Penyimpanan dalam bentuk pipilan sebaiknya kadar airnya diatur setelah mencapai 13-14%. Karena kadar air di atas 14% merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan jamur. Kontaminasi jamur dapat memproduksi bermacam-macam toxin (racun) antara lain aflatoksin dan hama-hama gudang, sehingga menyebabkan kerusakan. Wadah yang digunakan sebaiknya menggunakan karung plastik (plyethelene), karena jagung yang disimpan dalam karung plastik ternyata mempunyai daya simpan lebih lama dibanding jagung yang disimpan dalam karung goni. Wadah yang digunakan sebaiknya dibersihkan terlebih dulu, bila perlu disemprot dengan cairan insektisida Silosan 25 EC 2% dan Damfin 50 EC dosis 500 cc / 10 lt untuk 500 m2.

Penyimpanan Dengan Silo Bambu Semen

Untuk tujuan konsumsi, jagung dapat disimpan dalam silo bambu semen. Silo ini mudah didapat karena bahan bangunannya mudah diperoleh di pedesaan. Kapasitas silo adalah 1.000 kg (1ton) dengan ukuran 125 cm dan tinggi 100 cm. Silo tersebut dapat digunakan selama 20 tahun. Cara penyimpanannya yaitu jagung pipilan dikeringkan sampai kadar air mencapai 12,5 – 13 %, kemudian diangin-anginkan selama 2 – 4 jam dan dimasukkan ke dalam silo. Sebelum jagung dimasukkan ke dalam silo, pada dasar silo dilapisi plastik satu lapis untuk menghindari masuknya lengas tanah secara kapiler ke dalam silo. Cara lain yang dapat ditempuh adalah membuat landasan silo dari lapisan kerikil dan lapisan pasir. Penyimpanan jagung dengan silo bambu semen dapat bertahan 4 - 8 bulan tanpa ada hama gudang.

Tempat Penyimpanan Jagung Dengan Silo Bambu Semen

PENYIMPANAN BENIH JAGUNG

Benih jagung dapat disimpan dengan menggunakan beberapa alat, yaitu :

· Jerigen plastik (tahan 8 bulan)

· Botol yang lubang pengeluarannya dilapisi dengan parafin sehingga betul-betul kedap udara (kapasitas 0,75 kg , daya kecambah 80 % dan tahan 1 tahun)

· Wadah dengan bahan logam yang dilengkapi dengan absorban (biasanya digunakan abu sekam, kapasitas 21 – 23 kg)

· Wadah dengan bahan logam yang tutupnya dilapisi dengan parafin (kapasitas 23 – 25 kg)


Alat simpan benih jagung dari

logam penutupnya dilapisi dengan parafin

Alat simpan dari logam yang dilengkapi dengan absorban (abu sekam )