Jumat, 23 Desember 2011

PEMANFAATAN TEPUNG JAGUNG UNTUK KUE KERING (COOKIES) DENGAN KANDUNGAN KARBOHIDRAT TINGGI

ABSTRAK

Kue kering merupakan salah satu jenis makanan ringan yang diminati masyarakat. Konsumsi rata-rata kue kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia adalah 0,40 kg/kapita/tahun. Olahan kue kering tidak memerlukan pengembangan volume seperti kue basah dan rerotian, tetapi harus renyah, tidak cepat menyerap air, tidak keras
dan tidak mudah hancur. Sifat-sifat tersebut sesuai dengan sifat fisikokimia dan fungsional tepung jagung. Tepung jagung memiliki tekstur agak kasar, kandungan gluten relatif rendah (< 1%) dengan sifat amilograf tergolong viskositas dingin (240−620 BU). Makalah ini mengulas hasil penelitian kandungan nutrisi, sifat fungsional, dan produk kue kering dari tepung jagung. Kue kering dari tepung jagung memiliki mutu nutrisi dan tampilan yang cukup baik, tingkat penerimaan (organoleptik) termasuk disukai hingga sangat disukai pada taraf substitusi terhadap terigu 50−80%. Kue kering yang populer dengan menggunakan bahan tambahan berbasis adalah corn flake, coco chip, emping jagung. Hal ini merupakan isyarat bahwa tepung jagung sudah mulai diterima masyarakat dan memiliki prospek untuk dikembangkan.
Kata kunci: Tepung jagung, industri kue kering






ABSTRACT

Prospect of maize flour for cookies

Cookies is one of the favorite snacks consumed by community. The average consumption of dry cake in the big city and village in Indonesia is 0.40 kg/capita/year. Cookies processing do not need volume development as wet cake and bread, but the cookies have to be crispy, imperishable to water, hard and unbroken easily. This relates with the physiochemical characteristic and functional of maize flour. Maize flour has hard texture, relatively low gluten content (< 1%) with amylograph features processing the cold viscosity (240−620 BU). This papers described the results of research relating with the nutrition content, functional characteristic, and the construction of dry cake from maize flour. The cookies made from maize flour have good nutrition quality and adequate processing feature, substitution towards the wheat flour until the level 50−80% with the receiving level of highly preference (organoleptic). Supported by the recipe of dry cake that popular in the recent time were using the corn based material for example corn flake, coco chip, corn crispy. This indicated the opportunity of utilizing maize flour corn powder that has already received by the modern community who processing the high prospect to be developed.
Keywords: Corn flour, cookies product industry

Kebutuhan terigu di Indonesia terus meningkat, dari 3,40 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,70 juta ton pada tahun 2006. Peningkatan permintaan terigu antara lain disebabkan makin beragamnya produk makanan berbasis terigu, terutama di perkotaan. Namun, harga terigu yang makin mahal menyebabkan beberapa industri makanan berbasis terigu mengalami kerugian atau mengurangi produksinya. Kondisi ini berpengaruh terhadap permintaan terigu yang turun menjadi 3,60 juta ton pada tahun 2007, bahkan kebutuhan terigu diprediksi
makin menurun pada tahun 2008 (Alwin 2008).
Keberadaan terigu sudah melekatdengan industri pengolahan pangan. Akibatnya, ketika harga terigu naik, paraprodusen makanan olahan dari terigu, terutama yang termasuk usaha kecil menengah (UKM) menghadapi masalah yang berat. Di satu sisi, produsen tertekan oleh kenaikan harga terigu, namun di sisi lain dihadapkan pada daya beli konsumen yang makin menurun. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tepung dari bahan pangan lokal dalam memproduksi makanan berbasis terigu. Budaya mengonsumsi tepung pada masyarakat Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan aneka tepung lokal untuk mengurangi penggunaan terigu (Budijono et al. 2008; Sasongko dan Puspitasari 2008). Berkaitan dengan hal tersebut, tantangan ke depan adalah mengkaji ulang dan memanfaatkan bahan pangan serealia lain yang dapat mensubstitusi terigu. Jagung merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, dan merupakan pangan tradisional atau makanan pokok di beberapa daerah. Jagung juga berperan penting dalam perkembangan industri pangan. Hal ini ditunjang dengan teknik budi daya yang cukup mudah dan berbagai varietas unggul. Kandungan nutrisi jagung tidak kalah dengan terigu, bahkan jagung memiliki keunggulan karena mengandung pangan fungsional seperti serat pangan, unsur Fe, dan beta-karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2005). Produksi jagung pada tahun 2007 dapat dilihat pada Angka Tetap (ATAP) yakni 13,29 juta ton pipilan kering. Dibandingkan dengan produksi tahun 2006, produksi tersebut meningkat 1,68 juta ton atau 14,45%. Angka Ramalan II (ARAM II) produksi jagung tahun 2008 diperkirakan 14,85 juta ton pipilan kering atau meningkat 1,57 juta ton (11,79%) dibandingkan dengan produksi tahun 2007.
Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen 284,52 ribu hektar (8,50%) dan produktivitas 190 kg/ha (5,48%) (BPS 2008). Berbagai varietas unggul jagung telah tersedia, bahkan Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas khusus jagung untuk pangan seperti Anoman-1 dan Srikandi Putih-1. Ketersediaan varietas khusus tersebut membuka peluang untuk memanfaatkan jagung sebagai bahan tepung lokal. Jagung dalam bentuk tepung lebih fleksibel, lebih tahan lama, praktis, dapat diperkaya dengan zat gizi (fortifikasi),
dan lebih cepat dimasak sesuai dengan tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Damardjati et al. 2000; Suarni dan Firmansyah 2005). Berbagai pangan olahan dapat dibuat dari tepung jagung seperti kue kering (cookies). Kue kering tidak memerlukan bahan yang volumenya dapat mengembang besar (kandungan gluten tinggi), sehingga dapat memanfaatkan tepung jagung yang hanya mengandung gluten < 1%. Kue kering merupakan salah satu jenis makanan ringan yang diminati masyarakat. Konsumsi rata-rata kue kering di Indonesia adalah 0,40 kg/kapita/tahun.
Angka ini dapat menjadi acuan dalam mengkaji ulang hasil penelitian kue kering berbasis tepung jagung serta peluang substitusi tepung jagung terhadap terigu untuk olahan tersebut (Rosmisari 2006). Kue kering adalah kue yang berkadar air rendah, berukuran kecil, dan manis. Untuk membuat kue kering diperlukan bahan pengikat dan pelembut. Bahan
pengikat yang digunakan adalah tepung, air, dan telur, sedangkan sebagai bahan pelembut adalah gula, shortening, baking powder, dan kuning telur. Tepung, telur, dan baking powder merupakan komponen penting pada kue kering dan mempengaruhi hasil olahan, terutama sifat fisik dan cita rasa (Matz 1984; Badan Standardisasi Nasional 1993). Pengembangan olahan kue kering banyak menggunakan bahan tambahan seperti corn flake, chocho chip, dan
emping jagung. Hal ini menunjukkan konsumen sudah menerima bahan pangan berbasis jagung sehingga membuka peluang pemanfaatan tepung jagung sebagai bahan dasar dalam pembuatan kue kering. Pengembangan kue kering berbasis tepung jagung dapat mengurangi penggunaan terigu yang harganya makin mahal. Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu. Serat pangan ada yang larut dan tidak larut dalam air. Serat pangan yang larut dalam air terutama berperan dalam memperlambat kecepatan pencernaan bahan pangan dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi makin sedikit. Fungsi tersebut sangat dibutuhkan bagi penderita diabetes. Fungsi utama serat pangan tidak larut adalah mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama yang berkaitan dengan saluran pencernaan seperti wasir, divertikulosis, dan kanker usus besar (Eckel 2003; Astawan dan Wresdiyati 2004). Perbedaan serat pangan larut dan tidak larut pada beberapa sampel jagung sangat kecil, meskipun Quality Protein Maize (QPM) mempunyai kadar serat pangan total lebih tinggi dibandingkan dengan jagung biasa, terutama karena kadar serat pangan tidak larutnya yang tinggi (Tabel 1). Kulit ari (bran) jagung terdiri atas 75% hemiselulosa dan 25% selulosa serta 0,10% lignin. Kadar serat pangan pada jagung tanpa kulit ari lebih rendah dibandingkan dengan biji utuh (Bressani 1990).


TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG JAGUNG

Pengolahan biji jagung menjadi tepung telah lama dikenal masyarakat, namun diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan mutu tepung jagung yangdihasilkan. Tepung jagung diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang baik dan bersih. Pelepasan kulit luar biji yang cukup sulit dapat diatasi dengan menggunakan mesin penyosoh jagung yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, Sulawesi Selatan. Untuk menghasilkan tepung jagung, biji jagung pipilan kering disortasi kemudian disosoh untuk melepaskan kulit luarnya. Jagung sosoh lalu dibuat tepung dengan menggunakan metode basah atau metode kering. Bila menggunakan metode basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci, ditiriskan, dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung. Tepung lalu dikeringkan hingga kadar air di bawah 11%. Penepungan dengan metode kering dilakukan dengan langsung menepung jagung yang telah disosoh, artinya tanpaperendaman.Hasil penelitian menunjukkan, penepungan dengan metode basah (perendaman) menghasilkan rendemen tepung lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering (tanpa perendaman). Namun, kandungan nutrisi tepung lebih tinggi pada penepungan dengan metode kering (Suarni et al. 2001; Suarni dan Firmansyah 2005; Suarni 2005a).

Pengolahan tepung jagung secara mekanis dengan alat penyosoh dan penepung menghasilkan tekstur tepung yang agak kasar. Tepung dengan tekstur kasar sesuai untuk produk olahan seperti tortilla dan kerupuk (Aguilar et al. 2002; Houssou dan Ayemor 2002). Miranda et al. (2002) telah membuat tortilla dari tepung jagung dengan menambahkan tenebrio molitor larvae untuk meningkatkan mutu tortilla.


Tabel 1. Kandungan serat pangan larut dan tidak larut pada jagung biasa
Tipe jagung Serat pangan (%)
Tidak larut Larut Total
Dataran tinggi 10,94 ± 1,26 1,25 ± 0,41 12,19 ± 1,67
Dataran rendah 11,15 ± 1,08 1,64 ± 0,73 12,79 ± 1,81
QPM 13,77 1,14 14,91
Sumber: Bressani (1990).




































Tabel 2. Syarat mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia.
Kriteria uji Satuan Persyaratan
bau - Normal
rasa - Normal
warna - Normal
benda asing - Tidak boleh
serangga - Tidak boleh
pati lain salain jagung - Tidak boleh
kehalusan -
lolos 80 mesh % Minimum 70
lolos 60 mesh % Minimum 99
air % (b/b) Minimum 10
abu % (b/b) Minimum 1,50
silikat % (b/b) Minimum 0.50
serat kasar % (b/b) Minimum 1,50
Derajat asam ml N NaOH/100 g Minimum 4
Timbal mg/kg Minimum 1
Tembaga mg/kg Minimum 10
Seng mg/kg Minimum 40
Raksa mg/kg Minimum 0.05
Cemaran arsen mg/kg Minimum 0.50
Angka lempeng total koloni/g Minimum 5 x 106
E. Coli APM/g Minimum 10
Kapang koloni/g Minimum 104

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993).





Tabel 3. Kandungan nutrisi biji dan tepung beberapa varietas jagung.

Komposisi/varietas Air abu lemak protein serat kasar karbohidrat
Anoman-1
biji pipilan 10.72 1.89 4.56 9.91 2.05 71.98
biji sosoh 10.55 1.72 3.12 8.24 1.88 76.31
tepung metode basah 10.15 0.98 1.99 6.70 1.05 79.51
tepung metode kering 9.45 1.05 2.05 7.98 1.30 79.98
srikandi putih - 1
biji pipilan 11.02 1.85 5.10 9.34 71.74 71.74
biji sosoh 10.08 1.64 4.25 8.22 2.05 75.89
tepung metode basah 10.05 0.94 2.08 7.24 3.05 79.70
tepung metode kering 9.24 1.08 2.38 7.89 1.26 79.45
lokal non -pulut
biji pipilan 11.04 2.09 4.92 8.63 3.14 73.38
biji sosoh 10.45 1.78 3.87 7.99 1.06 75.99
tepung metode basah 10.82 0.79 1.86 6.97 2.19 79.56
tepung metode kering 9.59 1.08 2.17 7.54 1.89 79.75
Sumber: Suarni dan Firmansyah (2005)






SYARAT MUTU TEPUNG JAGUNG


Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 2. Kriteria fisik mutu tepung jagung (bau, rasa, warna) harus normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa khas jagung, warna sesuai bahan baku jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik bahan aslinya.


KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG JAGUNG

Kandungan nutrisi tepung jagung cukup memadai sebagai bahan baku kue kering. Kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1, dan lokal) berkisar 7,54–7,89% pada metode kering, dan 6,70–7,24% pada metode basah. Kadar lemak tepung 2,05–2,38% pada metode kering, lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah yang hanya 1,86– 2,08% (Tabel 3). Kadar lemak yang rendah akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih lama; dengan demikian metode basah lebih
baik dibandingkan dengan metode kering. Varietas Anoman-1 dan Srikandi-1 adalah varietas unggul jagung yang dilepas Badan Litbang Pertanian/Balitsereal khusus untuk pangan, sedangkan varietas lokal Soppeng adalah jagung untuk pangan yang telah lama digunakan masyarakat di Sulawesi dan sekitarnya.

Kadar serat kasar tepung hasil pengolahan dengan metode kering (1,29– 1,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah yang hanya 1,05–1,06%. Kadar serat mengalami penurunan dari biji utuh menjadi tepung. Walaupun berpengaruh pada tekstur tepung (menjadi lebih kasar), serat kasar berperan penting dalampenilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan Artinya, kandungan serat pangan yang tinggi bermanfaat untuk kesehatan, tetapi dari segi kualitas fisik berpengaruh terhadap tingkat kehalusan tepung.

Kadar abu tepung hasil pengolahan dengan metode basah lebih rendah dibandingkan dengan metode kering. Berdasarkan kadar abu yang tinggi berpengaruh pada warna tepung. Komposisi proksimat (kadar lemak, protein, serat kasar, karbohidrat, air, dan abu), tepung jagung varietas Anoman-1, Srikandi Putih- 1, dan lokal Pulut memenuhi SNI mutu tepung jagung.

KARAKTERISTIK SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG JAGUNG

Sifat fisikokimia tepung jagung beragam, bergantung pada varietas. Oleh karena itu, pemilihan varietas sebagai bahan tepung jagung akan menentukan kualitas kue kering yang dihasilkan. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung beberapa varietas jagung disajikan pada Tabel 4 dan 5. Berdasarkan daya serap air, daya serap minyak, dan sifat emulsi, tepung jagung lokal Pulut memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Hal ini berkaitan dengan kadar amilosa yang lebih rendah. Daya serap minyak dan daya serap air menunjukkan kemampuan tepung dalam mengikat air dan minyak, sehingga sifat ini perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan dari tepung tersebut. Sifat emulsi berkaitan erat dengan konsentrat protein dalam bahan. Aktivitas emulsi adalah kemampuan protein mengambil bagian dalam pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi yang terbentuk. Kapasitas emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi untuk mengemulsikan lemak (Bian et al. 2003). Untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul protein lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian membentang sehingga kelompok hidrofobik dapat berhubungan dengan fase lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan. Sifat emulsi ini dapat menguntungkan pada sebagian besar produk makanan termasuk margarin, saus, adonan roti, dan cake.
Tekstur tepung jagung hasil pemrosesan dengan metode basah agak halus (secara visual) dan lolos saringan 70 mesh untuk semua varietas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pemrosesantepung jagung dengan metode basah yang menghasilkan tekstur lebih halusdibandingkan dengan metode kering (Suardi et al. 2002). Nilai derajat putih tepung bergantung pada bahan dasar jagung yang diolah. Warna biji pipilan kering jagung Pulut adalah putih susu sehingga nilai derajat putihnya lebih tinggidibandingkan dengan varietas lokal bukanPulut yang warna bijinya putih bening. Pada umumnya konsumen lebih memilih tepung yang berwarna putih.

Perbandingan rasio amilosa dan amilopektin suatu bahan berpengaruh pada produk akhir makanan olahan (Winarno 2002). Varietas lokal Pulut mempunyai kadar amilosa lebih rendah dibanding varietas lainnya. Pati tersebut bila dipanaskan akan memberi sifat lengket sehingga sesuai untuk makanan olahan yang membutuhkan adonan liat/lengket.

Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Sifat kimia pati dipengaruhi oleh perbandingan komposisi amilosa dan amilopektin, bobot molekul, dan struktur yang membentuk granula pati. Kadar amilosa pati jagung lokal Pulut sebesar 8,99% berpengaruh pada sifat amilografnya. Suhu awal gelatinisasi lokal Pulut yakni 72°C lebih rendah dibandingkan dengan varietas Anoman-1 (82°C), Srikandi Putih-1 (81°C), dan lokal non-Pulut (84°C). Waktu awal gelatinisasi varietas lokal Pulut adalah 20,50 menit, lebih rendah dibandingkan dengan waktu awal gelatinisasi varietas lainnya (Tabel 4). Kadar gluten tepung jagung yang <1% menunjukkan tepung tersebut lebih sesuai untuk membuat kue kering dan sejenisnya.

Kadar gluten terigu pada umumnya di atas 10% sehingga mempunyai sifat mengembang yang diperlukan dalam pembuatan dan pembakaran adonan rerotian, cake dan sejenisnya (Suarni dan Patong 2002; Suarni dan Zakir 2002).

Karakter amilografi diindikasikan oleh proses gelatinisasi, dan karakteristik tersebut merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas tepung jagung. Waktu dan suhu awal gelatinisasi tepung setiap varietas jagung berbeda, bergantung pada komposisi kimianya (Tabel 5).

Informasi tentang sifat amilograf tepung dapat membantu pengguna dalam memilih varietas jagung yang akan digunakan sesuai kebutuhan, karena setiap olahan memerlukan kriteria sifat amilograf tertentu. Awal gelatinisasi bahan adalah suhu dan waktu di mana gelatinisasi mulai terjadi, sedangkan waktu dan suhu granula pati pecah dihitung saat gelatinisasi sudah sempurna. Sifat amilograf tepung yang berbeda ditunjukkan oleh lokal Pulut, yaitu waktu dan suhu awal gelatinisasi serta waktu dan suhu granula pati pecah lebih rendah dibanding tepung dari varietas lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kadar amilosa pati Pulut (8,99%) yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas lainnya (18,32−20,71%). Winarno (2002), Santosa et al. (2006), serta Widaningrum dan Purwani (2006) menyatakan bahwa kadar amilosa suatu bahan pangan berpengaruh pada sifat amilografnya. Viskositas puncak adalah kriteria yang digunakan untuk mengetahui kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan granulanya akibat proses pemanasan.

Dalam air dingin, granula pati terdispersi dan membentuk larutan berviskositas rendah. Viskositas larutan pati meningkat drastis bila mengalami pemanasan hingga mencapai suhu ± 80°C disertai pengadukan. Suhu saat larutan pati mulai mengental disebut suhu gelatinisasi. Gelatinisasi pati merupakan proses endoterm yang terjadi karena adanya air. Suhu gelatinisasi pati tepung jagung berbeda, bergantung pada varietas. Perbedaan suhu tersebut disebabkan oleh perbandingan kadar amilosa dan amilopektin (Santosa et al. 2006; Widaningrum dan Purwani 2006). Bentuk granula juga merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen, yaitu untuk yang kecil 1−7 m dan untuk yang besar 15−20 m. Granula besar berbentuk oval polihedral dengan diameter 6−30 m. Granula pati yang berukuran kecil mempunyai ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar. Bentuk granula pati tepung jagung varietas unggul Anoman-1, yaitu jagung khusus untuk pangan, dibandingkan dengan granula tepung terigu disajikan pada Gambar 1. Ukuran granula terigu lebih kecil dibanding granula pati jagung (Suarni et al. 2008).


PRODUK OLAHAN KUE KERING

Tahapan pembuatan kue kering meliputi pembentukan krim, pembentukan adonan, pencetakan, pemanggangan, pendinginan, dan pengemasan. Agar semua bahan tercampur merata dalam adonan maka mentega dibuat krim terlebih dahulu bersama gula, telur, dan susu skim. Selanjutnya, krim dicampur hingga homogen dengan tepung dan bahan lainnya. Setelah homogen, adonan dicetak.

Tahap akhir pembuatan kue kering adalah pembakaran. Suhu pembakaran bergantung pada jenis kue kering yang dibuat. Pada umumnya, pembakaran dilakukan pada suhu kurang lebih 170°C selama 15−20 menit. Penelitian pembuatan kue kering dari tepung jagung komposit telah banyak dilakukan. Proses pembuatannya pada umumnya relatif sama, hanya perlakuan bahan tepung komposit yang beragam. Kue kering yang dihasilkan diusahakan memenuhi standar mutu cookies (Tabel 6).

Kriteria uji fisik (bau, rasa, warna, dan tekstur) cookies harus normal, artinya bau khas kue kering sesuai dengan bahan kue yang digunakan, rasa enak, warna sesuai dengan zat pewarna yang ditambahkan, dan tekstur renyah, tidak mudah hancur, tetapi tidak keras. Secara umum, keadaan fisik kue kering tersebut sesuai aslinya.

Kue kering yang dibuat dari tepung komposit, yaitu campuran tepung jagung 40%, tepung gude 10%, dan tepung kedelai 50% memiliki nilai gizi tinggi dan sifat sensorisnya termasuk aroma, rasa, tekstur dapat diterima panelis (Antarlina dan Utomo 1993). Selanjutnya Azman (2000) membuat kue kering dari campuran terigu, tepung jagung, dan tepung ubi kayu. Hasilnya menunjukkan, makin banyak tepung jagung atau tepung ubi kayu dalam tepung komposit, tekstur kue kering makin keras. Secara keseluruhan, pengembangan volume kue kering tepung jagung-terigu lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubi kayu-terigu.

Mutu kue kering dari tepung komposit terigu-jagung dan terigu-ubi kayu pada komposisi masing-masing 80 : 20 dan 90 : 10 sama dengan mutu kue kering dari terigu 100%, baik secara fisik, kimiawi maupun organoleptik. Namun, tepung jagung dan ubi kayu dapat mensubstitusi terigu 30−40% dalam pembuatan kue kering (Azman 2000), yang sesuai dengan penelitian sebelumnya (Azman 1996 dalam Azman 2000).
Suarni (2005b) meneliti pembuatan kue kering berbasis tepung jagung. Bahan yang digunakan adalah tepung jagung pipilan kering varietas lokal Putih dan bahan lain (margarin, gula pasir, terigu, telur, vanili, soda kue). Untuk mengetahui penerimaan terhadap kue kering dilakukan uji organoleptik, yaitu penilaian dengan menggunakan indra penglihat, pencicip, dan pembau. Sifat produk yang diuji adalah warna, rasa, aroma, dan kerenyahan seperti disajikan pada Tabel 7. Warna memegang peranan penting dan menentukan kesukaan panelis terhadap suatu produk. Makin lama pemanggangan, produk yang dihasilkan makin coklat karena terjadi reaksi pencoklatan (Winarno 2002). Aroma kue kering ditentukan oleh komponen bahan yang digunakan dan perbandingannya, seperti margarin, telur, bahan tambahan, dan jenis tepung. Dengan demikian, persentase substitusi tepung jagung terhadap terigu akan mempengaruhi aroma produk. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tepung jagung dapat dibuat kue kering hingga 80% dengan nilai sensoris yang masih disukai panelis.

Kandungan nutrisi kue kering disajian pada Tabel 8. Kadar protein memenuhi persyaratan SNI 01-2973-1992 (protein > 6). Demikian pula kadar abu untuk semua perlakuan berkisar 0,32−2,12% atau memenuhi persyaratan SNI, yaitu maksimun 2%. Kelebihan kue kering berbasis tepung jagung adalah kadar serat kasarnya lebih tinggi dibanding kue dari terigu 100%. Kadar serat makanan meningkat sesuai dengan persentase substitusi tepung jagung terhadap terigu. Serat makanan sangat dibutuhkan tubuh untuk mencegah penyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes melitus, dan penyakit kardiovaskuler (Wildman dan Modeiros 2000; Joseph 2002).

Kadar abu kue yang dibuat dari 100% terigu lebih rendah, yakni hanya 0,32% dibanding kue kering untuk semua perlakuan substitusi terigu dengan ratarata 1,59%. Kadar mineral kue kering dari penelitian ini sesuai hasil penelitian pembuatan kue kering dari tepung sorgum dengan substitusi terigu, di mana terdapat peningkatan mineral esensial terutama Fe, Ca, dan P (Suarni 2000).

Kue Kering Berserat Tinggi

Gordon (1989) menyatakan bahwa serat pangan total (total dietary food) mengandung gula dan asam gula sebagai bahan pembangun utama, serta kelompok fungsional yang dapat mengikat danterikat atau bereaksi satu sama lain ataudengan komponen lain. Semua komponen serat pangan total memberikan karakteristik fungsional pada serat, yang meliputi daya ikat air, kapasitas mengembang, membentuk gel dengan viskositas yang berbeda-beda, mengadsorpsi minyak/ lemak, pertukaran kation, serta memberikan warna dan aroma (flavor).

Salah satu sumber serat pangan yang dapat dimanfaatkan dalam produk makanan adalah bekatul beras jagung. Bekatul jagung (kulit luar biji jagung) merupakan hasil samping proses pengolahan biji jagung menjadi beras jagung. Bahan tersebut biasanya digunakan untuk pakan ayam atau itik. Bekatul jagung mengandung serat makanan dan protein yang
memadai sebagai bahan tambahan dalam olahan makanan.

Bekatul jagung dapat dibuat tepung dan ditambahkan ke dalam adonan kue kering (cookies). Penambahan bekatul jagung hingga 20% pada adonan menghasilkan nilai aroma dan kerenyahan yang disukai panelis, sedangkan uji rasa mendapat nilai agak suka, dan warna perlu diperbaiki (Tabel 9).

Waktu pemanggangan berpengaruh pada warna; makin lama pemanggangan produk yang dihasilkan makin coklat karena terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatik, yaitu karamelisasi dan reaksi Maillard (Winarno 2002). Karamelisasi terjadi karena gula mengalami pirolisis sehingga terbentuk pigmen coklat. Reaksi Maillard terjadi karena reaksi antara gula reduksi dan gugus amina dari protein atau asam amino (Fennema 1985). Makin tinggi penambahan bekatul jagung pada adonan, warna kue kering makin coklat kusam (kurang disukai).

Wariyah dan Andiwarsana (2003) memanfaatkan bekatul beras untuk substitusi terigu pada pembuatan kue kering. Substitusi bekatul beras sampai 10% menghasilkan kue kering dengan kadar air 4,27%, protein 6,88%, lemak 19,34%, karbohidrat 65,33%, dan serat kasar 2,58%. Mutu kue kering tersebut memenuhi standar SNI, kecuali kadar abu. Tingkat kesukaan terhadap kue kering tersebut, termasuk bau, warna, tekstur, dan rasa disajikan pada Tabel 10. Makin banyak bekatul beras yang ditambahkan, sifatsifat sensoris kue kering makin kurang disukai panelis, termasuk bau, warna, tekstur, dan rasa. Menurut Mc Caskill dan Fan Zhang (1999), kadar protein bekatul beras berkisar antara 12−16%, sehingga makin banyak bekatul beras yang ditambahkan, warna kue kering makin coklat dan kusam.

Kue kering dengan penambahan bekatul jagung hingga 30%, sifat sensorisnya masih disukai panelis. Kue kering saat ini banyak menggunakan bahan tambahan berbasis jagung seperti corn flakes atau emping jagung. Hal ini memberi petunjuk bahwa kue kering beraroma dan rasa jagung sudah diterima masyarakat.

Kandungan nutrisi kue kering dengan berbagai kombinasi terigu dan bekatul jagung disajikan pada Tabel 11. Kadar protein untuk semua perlakuan berkisar
antara 11,99−16,22% (bk). Hal ini berarti kue kering yang dihasilkan melebihi persyaratan SNI 01-2973-1992 (protein >6%). Peningkatan kadar protein kue kering dengan penambahan bekatul jagung dan telur memberi nilai tambah, karena tolok ukur nilai gizi suatu produk
makanan antara lain adalah kadar protein. Kenaikan kadar protein sejalan dengan persentase bekatul jagung yang ditambahkan Peningkatan kadar serat kue kering mengikuti taraf substitusi, mulai 10, 15, 20, 25, 30, dan 35%. Kadar serat kasar kue kontrol sangat rendah, hanya 0,22% dibanding semua perlakuan substitusi dengan kisaran 1,99−8,08%. Penambahan bahan berserat tinggi pada adonan terigu menghasilkan kue kering berserat tinggi. Walaupun kadar serat yang dianalisis masih serat kasar total, setidaknya angka tersebut memberi gambaran kisaran serat makanan yang dibutuhkan tubuh (dietary fiber).



PROSPEK PEMANFAATAN TEPUNG JAGUNG UNTUK KUE KERING

Pengembangan agroindustri tepung jagung di pedesaan dapat menunjang perbaikan kesejahteraan masyarakat, di samping meningkatkan nilai sosial komoditas tersebut. Teknologi pembuatan tepung jagung yang berkualitas belum mendapatkan perhatian dari masyarakat, bahkan peluang pasar tepung jagung belum terbuka karena kegunaannya belum
banyak diketahui. Oleh karena itu, sosialisasi hasil penelitian mengenai teknologi produksi tepung jagung, komposisi nutrisi tepung serta produk olahannya terutama kue kering dan sejenisnya sangat diperlukan (Suarni 2005c; Suarni dan Firmansyah 2005). Buku resep berbagai produk olahan tepung jagung telah dipublikasikan (Widowati et al. 2003). Tujuannya adalah untuk memasyarakatkan teknologi tersebut agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal sehingga memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing tepung jagung, terutama sebagai bahan substitusi terigu. Salah satu contoh pelaku agroindustri berbasis jagung terdapat di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Setelah mendapat uji kelayakan dari laboratorium, tepung jagung dijual Rp5.000/kg, harga jagung pipilan kering Rp900–Rp1.200/kg. Tepung jagung dimanfaatkaan untuk kue kering (kue semprit dan kue "rokok"). Kue kering dari tepung jagung memiliki rasa yang khas dan enak, berbeda dengan yang dibuat dari tepung biasa, sehingga mendapat respons cukup baik dari konsumen. Produksi dua jenis kue tersebut mencapai 3.000 bungkus setiap minggu, setiap bungkus berisi 10 buah dengan harga jual Rp2.000/bungkus. Kue kering berbasis tepung jagung tersebut menjadi makanan khas Kabupaten Tanah Laut (Haryono 2008).

KESIMPULAN

Tepung jagung mempunyai tekstur agak kasar, mengandung gluten < 1% sehingga tidak sesuai untuk produk olahan yang memerlukan pengembangan volume tinggi. Namun, tepung jagung mengandung serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung pro vitamin A, dan jagung merah mengandung unsur Fe yang tidak ada dalam terigu. Tepung jagung dapat mensubstitusi terigu dalam pembuatan kue kering hingga 50−80%, dengan tingkat penerimaan panelis tergolong suka - sangat suka. Dengan demikian, tepung jagung layak menggantikan terigu. Penggunaan tepung jagung pada pengolahan makanan berbasis terigu, terutama produk yang tidak memerlukan pengembangan yang tinggi, dapat mengurangi ketergantungan pada bahan pangan impor seperti terigu. Tersedianya hasil penelitian pengolahan tepung jagung dan resep makanan olahan dari tepung jagung memudahkan pelaku industri untuk mengembangkannya. Kue kering dan sejenisnya merupakan makanan ringan yang telah dikenal masyarakat, disenangi semua golongan usia sehingga berpeluang untuk dikembangkan, baik pada industri skala kecil, menengah maupun besar.

















DAFTAR PUSTAKA

Aguilar, M.E.D., M.G. Lopez, C. Escamilla- Santana, and A.P. Barba De La Rosa. 2002. Characteristics of maize flour tortillasupplemented with ground tenebrio larvae. J. Agric. Food Chem. Am. Chem. Soc. (50): 192−195.

Alwin, A. 2008. Tepung Terigu: Stok aman, harga melambung. www.sriboga-flourmill.com. [17 November 2008].

Antarlina, S.S. dan J.S. Utomo. 1993. Kue kering dari bahan tepung campuran jagung, gude, dan kedelai. hlm. 24−31. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

Astawan, M. dan T. Wresdiyati. 2004. Diet sehat dengan makanan berserat. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, Solo. Azman, K.I. 2000. Kue kering dari tepung komposit terigu-jagung dan ubi kayu. Sigma 3(2): 14−18.

Badan Standardisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. Syarat Mutu Kue Kering
(cookies). SNI 01-2973-1992. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Bian, Y. , D.J. Myers, K. Dias, M.A. Lihono, S. Wu, and P.A. Murpy. 2003. Fungtional
properties of soy protein fraction produced using a pilot plant-scale process. J. Am.
Chem. Soc. 80: 45−549.

BPS. 2008. Produksi Jagung dan Kedelai 2008 Meningkat. www.bps.go.id. [17 November 2008].

Bressani, R. 1990. Chemistry, technology and nutritive value of maize tortillas. Food Rev.
Int. 6: 225−264.

Budijono, Al., Yuniarti, Suhardi, Suharjo, dan W. Istuty. 2008. Kajian pengembangan agroindustri aneka tepung di pedesaan. www. relawandesa.files. wordpress.com. [17 November 2008].

Damardjati, D.S., S. Widowati, J. Wargiono, dan S. Purba. 2000. Potensi dan Pendayagunaan
Sumber Daya Bahan Pangan Lokal Serealia, Umbi-umbian, dan Kacang-kacangan untuk Penganekaragaman Pangan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif.
Jakarta, 24 Oktober 200. 24 hlm.

Eckel, R.H. 2003. A new look at dietary protein in diabetes. Am J. Clin Nutr. 78: 671−672. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, New York. Gordon. 1989. Functional properties physiological action of total dietary fiber. Cereal Food World 34(7): 517.

Haryono, S. 2008. Memperkenalkan kue jagung pada konsumen asing. www.gemari.or.id. [17 November 2008].

Houssou, P. and G.S. Ayemor. 2002. Appropriate processing and food functional properties
of maize flour. African J. Sci. Technol. Sci. Engin. l3(1): 126−131.

Joseph, G. 2002. Manfaat serat makanan bagi kesehatan kita. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 14 hlm.

Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. The AVI Publishing. Co., Westport, Connecticut.
Mc Caskill, D.R. and Fan Zhang. 1999. Use of rice bran oil in foods. Food Techno. 53 pp.

Miranda, E.D.A., M.G. Lopez, C. Escamalda- Santana, and A.P. Barbara De La Rosa. 2002.
Characteristics of maize flour tortilla supplemented with ground tenebrio molitor larvae. J. Agric. Food Chem. 50: 192−195.

Rosmisari, A. 2006. Review: Tepung jagung komposit, pembuatan dan pengolahannya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Santosa, B.A.S., Sudaryono, dan S. Widowati. 2006. Karakteristik ekstrudat beberapa varietas jagung dengan penambahan aquades. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 3(2):
96−108.

Sasongko, A.L. dan L. Puspitasari. 2008. Tepung lokal layak gantikan terigu. www. suaramerdeka. com. [17 November 2008].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar